Perang Terakhir

PARA pemain kesebelasan El Salvador tiba di Tegucigalpa, ibukota Honduras, pada 7 Juni 1969. Mereka akan berlaga melawan tim tuan rumah dalam kualifikasi CONCACAF untuk Piala Dunia. Namun malam harinya, mereka tak bisa tidur. Di depan hotel, para pendukung kesebalasan Honduras mengintimidasi.

Keesokan harinya, di lapangan hijau, konsentrasi mereka buyar. Gol Roberto Cardona, striker tuan rumah, di menit-menit akhir menutup peluang mereka mencuri poin.

Di El Savador, Amelia Bolanios, gadis berusia 18 tahun, yang menonton siaran langsung dari layar televisi, bunuh diri dengan menembakkan pistol ke dadanya. “Gadis belia itu tak tahan melihat tanahairnya dibuat bertekuk lutut,” tulis harian El Nacional (9/6), dikutip Ryszard Kapuscinski dalam The Soccer War. Presiden El Savador, yang menghadiri prosesi pemakaman Amelia, menggunakan momentum ini untuk membangkitkan nasionalisme rakyatnya. Darah orang-orang El Salvador mendidih.

Di pertandingan kedua sepekan kemudian, di kandang El Savador, gantian para pemain Honduras diintimidasi. Pertandingan berakhir dengan skor 3-0 untuk kemenangan El Savador.

Hasil itu membuat kedua negara harus memainkan pertandingan penentuan di tempat netral, yakni Mexico City, pada 26 Juni. Di Stadion, pendukung kedua kesebelasan ditempatkan terpisah, sementara di tengahnya 5.000 polisi Meksiko berjaga-jaga. Tensi pertandingan begitu tinggi. Di luar stadion, “Perkelahian, pemerkosaan, dan pembunuhan membuat kota itu menjadi medan pertempuran,” tulis Jan Stradling dalam More Than a Game: When Sport and History Collide.

El Salvador menang 3-2 lewat perpanjangan waktu.

Pada hari yang sama, El Salvador memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Honduras. Dalihnya, pemerintah Honduras membiarkan terjadinya kekerasan dan pembunuhan terhadap para imigran El Salvador.

Ketegangan antara El Salvador dan Honduras sudah dimulai pada 1968. Ini bermula dari ketidakpuasan dan protes rakyat Honduras terhadap pemerintahan Kolonel Osvaldo Lopez Arellano, yang dianggap gagal memperbaiki perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Di tengah kebingungan, pemerintahan Arellano meng-kambinghitam-kan imigran gelap El Salvador, yang berjumlah sekira 300 orang.

El Savador adalah negara terkecil dengan jumlah penduduk terpadat di Amerika Tengah. Sebagian besar penduduknya tak bertanah; tanah sebagian besar tanah dikuasai empatbelas keluarga tuan tanah. Penduduk El Savador pun memilih beremigrasi ke Honduras dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pada Januari 1969, Honduras tak mau memperbarui perjanjian imigrasi 1967 yang ditandatangani bersama El Salvador. Hampir bersamaan dengan itu, Honduras menerapkan UU land reform. “Tapi karena ini adalah pemerintahan oligarki, tergantung pada Amerika Serikat, kebijakan tersebut tidak mengena tanah milik oligarki maupun perkebunan pisang besar milik United Fruit Company,” tulis Kapuscinski. Pemerintah ingin mendistribusikan kembali tanah-tanah milik imigran El Salvador. Tiga bulan kemudian, Honduras mengumumkan bakal mengusir imigran yang memperoleh properti tanpa melalui persyaratan hukum.

Kebijakan itu memicu aksi intimidasi, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap para imigran El Salvador. Pemerintah Honduras tak turun tangan. Eksodus besar-besaran imigran El Salvador pun terjadi.

Pemerintah El Salvador marah dan membawa masalah ini ke Organization of American States (OAS) tapi tak membuahkan hasil. Setelah memutuskan hubungan diplomatik dengan Honduras, El Salvador memilih jalan perang.

Pada 14 Juli 1969, El Salvador melancarkan serangan terhadap Honduras. Bombardir udara terhadap kota Tegucigalpa menjadi pembuka perang yang dikenal sebagai Perang Sepakbola atau Perang 100 Jam. “Tujuan El Salvador adalah untuk merebut wilayah Honduras dengan cepat dan menggunakannya sebagai alat negosiasi,” tulis William J Long dan Peter Brecke dalam War and Reconciliation: Reason and Emotion in Conflict Resolution.

Honduras mati-matian mempertahankan wilayahnya. Pesawat-pesawat Angkatan Udara Honduras bahkan terbang ke wilayah El Salvador untuk melakukan serangan balasan.

Pertempuran berlangsung selama empat hari sampai OSA memerintahkan gencatan senjata. Meski singkat, pertempuran itu mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, sipil dan militer, dari kedua pihak.

Pada 18 Juli, El Salvador akhirnya mau menerima gencatan senjata. Selain karena desakan OSA, di medan perang pasukan mereka kehabisan amunisi dan logistik. Mereka juga sadar dampak buruk lainnya: nasib penduduk yang kembali dari Honduras serta terganggunya perekonomian. Pada akhir Agustus El Salvador menarik pasukannya dari Honduras.

Pada Oktober 1969, dalam babak penentuan setelah dua pertandingan sebelumnya saling mengalahkan, kesebelasan El Savador menyingkirkan Haiti dan melaju ke putaran final Piala Dunia 1970 di Meksiko sebagai wakil CONCACAF. Mereka tersingkir di babak penyisihan.

Pada 30 Oktober 1980, kedua negara menandatangani perjanjian damai.

Perang Salib Pertama dilancarkan pada 1095 oleh Paus Urban II untuk mengambil kuasa kota suci Yerusalem dan tanah suci Kristen dari Muslim. Apa yang dimulai sebagai panggilan kecil untuk meminta bantuan dengan cepat berubah menjadi migrasi dan penaklukan keseluruhan wilayah di luar Eropa. Baik ksatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan laut menuju Yerusalem dan menangkap kota tersebut pada Juli 1099, mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya. Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal — setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja terakhir — namun Eropa tidak memperlihatkan diri sebagai Kerajaan Allah di dunia. Pertikaian selalu bermunculan di antara pangeran-pangeran Kristen, dan peperangan antara para bangsawan yang haus tanah membuat rakyat menderita. Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya. Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Katolik dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus. Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont. Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu." "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta. Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim. Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh non-Kristen adalah kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas tanah suci orang Kristen tampaknya seperti tindakan melayani Allah. Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyucian. Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel. Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan". Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda". Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan. Mereka mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih terlihat. Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) dan Ordo Rumah Sakit (bahasa Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri. Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif. 1. Perang Salib Rakyat. Perang Salib Rakyat adalah bagian dari Perang Salib pertama dan berakhir kira-kira enam bulan dari April 1096 sampai Oktober. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Salib Populer. 2.Perang Salib Jerman. Perang Salib Jerman 1096 adalah bagian dari Perang Salib pertama di mana tentara perang salib rakyat, kebanyakan dari Jerman, tidak menyerang Muslim namun orang Yahudi. Meskipun anti-semitisme telah ada di Eropa selama berabad-abad, ini merupakan pogrom massal pertama yang terorganisasi. Dalam beberapa kasus, otoritas dan pemimpin keagamaan berusaha melindungi orang Yahudi. 3. Perang Salib 1101 adalah sebuah perang salib dari 3 gerakan yang terpisah, diatur tahun 1100 dan 1101 setelah kesuksesan Perang Salib Pertama. Perang Salib Pertama yang berhasil menyarankan panggilan bantuan dari Kerajaan Yerusalem yang baru dibentuk, dan Paus Paschal II mendorong adanya ekspedisi baru. Ia terutama mendorong yang telah melakukan janji perang salib namun tidak pernah berangkat, dan yang telah memutar balik selama perjalanan. Beberapa orang ini telah menerima caci maki di rumahnya dan menghadapi tekanan agar kembali ke timur; Adela dari Blois, istri Stephen, Raja Blois, yang telah melarikan diri dari Pertempuran Antiokhia tahun 1098, juga sangat kecewa dengan suaminya bahwa dia tidak akan mempersilahkannya tinggal di rumah. 4. Perang Salib Kedua

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Peta tahun 1140 yang menunjukan jatuhnya Edessa di sebelah kanan peta, yang merupakan sebab terjadinya Perang Salib Kedua. Perang Salib Kedua (berlangsung dari sekitar tahun 1145 hingga tahun 1149) adalah Perang Salib kedua yang dilancarkan dari Eropa, yang dilaksanakan karena jatuhnya Kerajaan Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara-negara Tentara Salib yang didirikan pertama kali selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga yang pertama jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, yaitu Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyebrangi Eropa secara terpisah melewati Eropa dan agak terhalang oleh kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus; setelah melewati teritori Bizantium ke dalam Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dapat ditaklukan oleh orang Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melakukan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur gagal dan merupakan kemenangan besar bagi orang Muslim. Kegagalan ini menyebabkan jatuhnya Kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12. Serangan-serangan yang berhasil hanya terjadi di luar laut Tengah. Bangsa Flem, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman, melakukan perjalanan menuju Tanah Suci dengan kapal. Mereka berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilahkan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan, tempat mereka mendapatkan keturunan. Sementara itu, di Eropa Timur, Perang Salib Utara dimulai dengan usaha untuk merubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beragama Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad.

Setelah terjadinya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, terdapat tiga negara tentara salib yang didirikan di timur: Kerajaan Yerusalem, Kerajaan Antiokhia, dan Kerajaan Edessa. Kerajaan Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah dan memiliki populasi yang kecil; oleh sebab itu, daerah ini sering diserang oleh negara Muslim yang dikuasai oleh Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam pertempuran Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelah pertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin dibunuh dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, dipaksa untuk bersekutu dengan kekaisaran Bizantium, namun, pada tahun 1143, baik kaisar kekaisaran Bizantium, John II Comnenus dan raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Raja Tripoli dan Pangeran Antiokhia, yang menyebabkan Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat. Sementara itu, Zengi, Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi dan raja Baldwin II mengubah perhatian mereka ke arah Damaskus; Baldwin dapat ditaklukan di luar kota pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, nantinya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140; aliansi dinegosiasikan oleh penulis kronik Usamah ibn Munqidh. Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid Kara Aslan melawan Aleppo. Zengi, yang ingin mengambil keuntungan dalam kematian Fulk pada tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ketangannya setelah 1 bulan pada tanggal 24 Desember 1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim ke Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri memuji Islam sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia, seperti yang telah ditakuti; peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengamati Damaskus. Namun, ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan di Aleppo oleh anaknya, Nuruddin. Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.

Berita jatuhnya Edessa diberitakan oleh para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar dari Antiokhia, Yerusalem dan Armenia. Uskup Hugh dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus Eugenius III, yang menerbitkan papal bull Quantum praedecessores pada tanggal 1 Desember 1145, yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Hugh juga memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib: ini merupakan penyebutan Prester John yang pertama kali didokumentasikan. Eugenius tidak menguasai Roma dan tinggal di Viterbo, namun demikian, perang salib diartikan untuk lebih mengatur dan menguasai daripada Perang Salib Pertama: beberapa pendeta akan diterima oleh paus, angkatan bersenjata akan dipimpin oleh raja-raja terkuat dari Eropa, dan rute penyerangan akan direncanakan. Tanggapan terhadap papal bull perang salib sedikit, dan harus dikeluarkan kembali saat Louis VII akan mengambil bagian dalam ekspedisi. Louis VII dari Perancis juga telah memikirkan ekspedisi baru tanpa campur tangan Paus, di mana ia mengumumkan kepada istanannya di Bourges pada tahun 1145. Hal ini diperdebatkan saat Louis merencanakan perang salibnya sendiri, saat ia hendak memenuhi janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah Suci, di mana ia akhirnya dihentikan oleh kematian. Mungkin Louis memilih pilihannya dengan bebas dengan mendengar tentang Quantum Praedecessores. Dalam beberapa hal, Kepala Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan rencana Louis, di mana ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernard dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui kembali ke Eugenius. Kini Louis telah mendengar tentang papal bull, dan Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Papal Bull dikeluarkan kembali pada tanggal 1 Maret 1146, dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernard untuk berceramah di Perancis.

Tidak terdapat antusias populer untuk perang salib sebagaimana telah ada tahun 1095 sampai tahun 1096. Namun, St. Bernard, salah satu orang terkenal diantara umat nasrani pada saat itu, menemukan jalan bijaksana untuk mengambil salib sebagai arti mendapat pengampunan dari dosa dan mencapai keagungan. Pada 31 Maret, dengan persembahan Louis, dia menasehati keramaian di lapangan di Vézelay. Bernard berorasi, dan orang-orang naik dan berteriak "Salib, berikan kami salib!", dan mereka pergi untuk membuat salib. Tidak seperti perang salib pertama, perang salib kedua menarik perhatian keluarga rajam seperti Eleanor dari Aquitaine, Ratu Perancis, Thierry dari Elsas, Graf Flander, Henry, yang nantinya akan menjadi graf Champagne, saudara Louis Robert I dari Dreux, Alphonse I dari Tolosa, William II dari Nevers, William de Warenne, pangeran ketiga Surrey, Hugh VII dari Lusignan, dan bangsawan dan uskup lainnya. Tapi bantuan lebih banyak muncul dari orang-orang. St. Bernard menulis kepada uskup beberapa hari kemudian: "Saya buka mulut saya, saya berbicara, dan dan akhirnya Tentara Salib berjumlah menjadi tak terbatas. Desa dan Kota sekarang ditinggalkan. Anda akan baru saja menemukan 1 laki-laki untuk 7 wanita. Dimana-mana anda akan melihat janda yang suaminya masih hidup". Akhirnya disetujui bahwa tentara salib akan berangkat dalam 1 tahun, selama waktu ini mereka akan membuat persiapan dan membuat jalur menuju tanah suci. Louis dan Eugenius menerima bantuan dari pemimpin-pemimpin dimana daerah mereka akan dilewati: Geza dari Hongaria, Roger II dari Sisilia, dan kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus, meskipun Manuel ingin tentara salib untuk bersumpah kesetiaannya kepadanya, seperti yang diminta Kakeknya, Alexius I Comnenus. Sementara itu, St. Bernard melanjutkan untuk berkhotbah di Burgundi, Lorraine, dan Flanders. Seperti pada Perang Salib Pertama, khotbah membuat serangan kepada orang Yahudi; seorang pendeta fanatik Jerman bernama Rudolf adalah orang yang membuat terjadinya pembantaian orang Yahudi di Cologne, Mainz, Worms, dan Speyer, dengan Rudolf mengklaim orang Yahudi tidak berkontribusi secara finansial untuk menolong tanah suci. St. Bernard dan uskup besar dari Cologne dan Mainz dengan hebat menentang penyerangan itu, dan juga St. Bernard mengunjungi dari Flanders ke Jerman untuk mengatasi masalah itu, dan juga St. Bernard meyakinkan para pendengar Rudolf untuk mengikutinya. Bernard lalu menemukan Rudolf di Mainz dan berhasil mendiamkannya, dan mengembalikannya ke biara. Saat masih di Jerman, St. Bernard juga berkhotbah kepada Conrad III dari Jerman pada bulan November tahun 1146, tapi Conrad tidak tertarik untuk berpartisipasi, Bernard melanjutkan perjalanannya untuk berkhotbah di Jerman Selatan dan Swiss. Namun, dalam perjalanannya pulang pada bukan Desember, dia berhenti di Speyer, dimana, dalam kehadiran Conrad, dia mengantarkan khotbah emosional dimana dia mengambil peran Yesus dan bertanya apa yang akan dia lakukan untuk kaisar. Lalu Bernard berteriak "Orang!", "apa yang sebaikinya aku lakukan untukmu yang tidak pernah kulakukan?" Conrad tidak bisa melawan lagi dan bergabung dengan perang salib dengan banyak bangsawannya, termasuk Frederick II. Seperti di Kota Vézelay, banyak orang juga ikut perang salib di Jerman. Paus juga memimpin perang salib di Spanyol, meskipun perang melawan orang Moor masih terjadi untuk beberapa waktu. Dia memberikan Alfonso VII dari Kastilia indulgensi yang sama ia berikan kepada tentara salib Perancis, dan seperti yang dilakukan Paus Urban II tahun 1095, membuat orang Spanyol untuk bertarung untuk teritorinya sendiri daripada bergabung dengan tentara salib. Dia memimpin Marseille, Pisa, Genoa, dan kota lainnya untuk bertarung di Spanyol, tapi bagaimanapun memaksa orang Italia, seperti Amadeus III dari Savoy untuk pergi ke timur. Eugenius tidak mau Conrad berpartisipasi, dan berharap bahwa dia akan memberikan bantuan kerajaan untuk klaimnya terhadap kepausan, tapi dia tidak melarangnya untuk pergi. Eugenius III juga memimpin sebuah tentara salib di Jerman untuk melawan Wend, yang adalah penganut pagan. Perang telah terjadi untuk beberapa waktu antara orang Jerman dan orang Wend, dan mengambil bujukan Bernard untuk mempersilahkan indulgensi diumumkan untuk Tentara Salib Wend. Ekspedisi ini tidak seperti tentara salib tradisional, ini adalah ekspansi melawan pagan daripada melawan orang Muslim, dan tidak dihubungkan dengan pertahanan tanah suci. Perang Salib Kedua melihat melihat perkembangan menarik dalam arena baru perjalanan perang salib.

Pada tanggal 16 Februari 1147, tentara salib Perancis mendiskusikan tentang rute penyerangan mereka nantinya. Mereka mendiskusikan hal itu di Kota Étampes. Orang Jerman telah memilih untuk berpetualang melewati Hongaria, dimana Roger II musuh dari Conrad dan jalur laut tidak dapat dijalankan. Banyak bagnsawan Perancis tidak percaya jalur darat, dimana akan membawa mereka ke kekaisaran Bizantium, reputasi masih menderita dari First Crusaders. Meskipun dipilih untuk mengikuti Conrad, dan untuk memulainya pada tanggal 15 Juni. Roger II melawan dan menolak untuk berpartisipasi. Di Perancis, Kepala Biara Suger dan Raja William dari Nevers dipilih sebagai pengawas selama Raja sedang pergi berpartisipasi dalam perang salib. Di Jerman, khotbah lebih jauh dilakukan oleh Adam dari Ebrach, dan Otto dari Freising juga mengambil salib. Pada 13 Maret di Frankfurt, anak Conrad, Frederick IV dipilih sebagai raja, dibawah pengawasan Henry, Keuskupan Agung Mainz. Jerman berencana untuk maju pada bulan Mei dan bertemu orang Perancis di Konstantinopel. Selama pertemuan itu, pangeran Jerman yang lain memperluas ide perang salib kepada etnis Slavia yang tinggal di timur laut dari Kekaisaran Romawi Suci, dan dipimpin oleh Bernard untuk mengirim perang salib terhadap mereka. Pada 13 April, Eugenius mengkonfirmasi perang salib ini, membandingkan perang salib di Spanyol dan Palesitan. Dan pada tahun 1147, Perang Salib Wend juga muncul. Pada pertengahan bulan Mei, rombongan pertama mens/thumb/5/55/AfonsoI-P.jpg/180px-AfonsoI-Pninggalkan Inggris, terdiri dari orang Flem, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman. Tidak ada pangeran atau raja memimpin bagian perang salib ini; Inggris pada saat itu di tengah-tengah anarkisme. Mereka tiba di Porto pada bulan Juni, dan diyakinkan oleh uskup untuk melanjutkan perjalanan menuju Lisboa, dimana Raja Alfonso telah pergi saat mendengar armada tentara salib menuju kesitu. Pengepungan Lisboa dimulai pada 1 Juli dan berakhir pada 24 Oktober saat kota itu jatuh ketangan tentara salib. Beberapa tentara salib bertahan di kota baru yang baru direbut, dan Gilbert dari Hastings dipilih sebagai uskup, tapi banyak armada melanjutkan ke timur pada Februari 1148. Hampir pada waktu yang sama, orang Spanyol dibawah Alfonso VII dari Kastilia dan Ramon Berenguer IV dan lainnya merebut Almería. Pada tahun 1148 dan 1149, mereka juga merebut Tortosa, Fraga, dan Lerida.

Tentara Salib Jerman, tediri dari Franconia, Bavaria, dan Swabia meninggalkan tanah mereka, juga pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hongaria akhirnya membiarkan mereka lewat tanpa dilukai. Saat pasukan tiba di tertori Kekaisaran Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Bizantium bertugas agar tidak ada masalah apapun. Ada pengepungan kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, dimana Jendral Bizantium Prosouch bertarung dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Hal yang membuat semakin buruk adalah beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel, dimana relasi dengan Manuel kecil dan orang Jerman dipersilahkan untuk menyebrang menuju Asia Kecil secepat mungkin. Manuel mau Conrad meninggalkan beberapa pasukannya dibelakang, untuk membantunya bertahan melawan serangan dari Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tapi Conrad menolak, walaupun adalah musuh dari Roger. Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu orang Perancis, dan maju menyerang Iconium, ibukota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi, 1 dihancurkan oleh Seljuk pada tanggal 25 Oktober 1147 pada Pertempuran Kedua Dorylaeum. Orang Turki Seljuk menggunakan taktiknya dalam berpura-pura mundur, lalu membalas menyerang pasukan kecil kavalri Jerman yang telah terpisah dari pasukan utama untuk mengejar mereka. Conrad mulau mundur ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertarung dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan ditaklukan pada awal tahun 1148.

Tentara Salib Perancis berangkat dari Metz pada bulan Juni, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya, William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine, Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hongaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilahkan orang Hongaria untuk bergabung dengan pasukannya. Relasi dengan Bizantium juga kecil, dan Lorrainer, yang telah maju, juga datang dengan konflik dengan orang Jerman yang perjalanannya lebih lambat. Sejak negosiasi awal diantara Louis dan Manuel, Manuel telah melaksanakan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm, menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Ini telah dilakukan sehingga Manuel bebas mengkonsentrasikan pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang telah mendapat reputasi untuk pencurian dan penghianatan sejak Perang Salib Pertama dan dituduh melakukan hal jahat di Konstantinopel. Relasi Manuel dengan pasukan Perancis lebih baik daripada dengan orang Jerman, dan Luis terhibur di Konstantinopel. Beberapa orang Perancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tapi mereka dikendalikan oleh papal legate. Saat pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel, melewati Italia dan menyebrang dari Brindisi menuju Durres, seluruh pasukan perahu mereka menyebrangi Bosporus menuju Asia Kecil. Dalam tradisi yang dibuat oleh Kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Perancis untuk mengembalikan teritori manapun yang direbutnya kepada Bizantium. Mereka disemangati oleh rumor bahwa orang Jerman telah merebut Iconium, tapi Manuel menolak memberi Louis satupun pasukan Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan semua pasukan Manuel diperlukan di Balkan. Baik Jerman dan Perancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti Perang Salib Pertama. Orang Perancis bertemu sisa dari pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising sepanjang pantai Mediterania, dan mereka tiba di Efesus pada bulan Desember, dimana mereka mempelajari kalau Turki Seljuk menyiapkan penyerangan untuk menyerang mereka. Manuel juga mengirim duta besar yang mengkomplain tentang menjarah dan merampas yang Louis lakukan disepanjang jalan, dan tidak ada tanggung jawab kalau Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel, dimana Manuel memeriksanya, dan Louis, tidak mendengarkan peringatan serangan Seljuk, maju keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tapi dalam pertarungan kecil diluar Efesus, orang Perancis menang, Mereka mencapai Laodicea pada bulan Januari tahun 1148, hanya beberapa hari setelah pasukan Otto dari Freising dihancurkan di daerah yang sama. Melanjutkan serangan, barisan depan dibawah Amadeus dari Savoy terpisah dari sisa pasukan, dan pasukan Louis diikuti oleh orang Turki, yang tidak menyadarinya. Orang Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih jauh dan orang Perancis maju ke Adalia, yang telah dihancurkan dari jauh oleh Seljuk, yang juga telah membakar tanah untuk menghindari orang Perancis dari melengkapi makanannya, baik untuk diri mereka maupun untuk orang Perancis. Louis ingin untuk melanjutkan dengan tanah demi tanah, dan telah dipilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlabuh ke Antiokhia. Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, dimana sisa pasukan harus melanjutkan serangan jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hampir dihancurkan seluruhnya, baik karena orang Turki maupun karena sakit.

Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat karena badai; Amadeus dari Savoy tewas di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman dari Eleanor, Raymond. Raymond mengharapkannya membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tapi Louis menolak, dia lebih memilih untuk memasuki Yerusalem daripada fokus dalam aspek militer. Eleanor menikmatinya, tapi pamannya mau dia tetap disitu dan menceraikan Louis jika dia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia dan pergi ke Kerajaan Tripoli. Setelah itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal April, setelah itu Conrad segera sampai, dan Fulk, Patriarch dari Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba pada saat ini, dan juga orang Provencals dibawah Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri telah tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem, diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli.

Di Yerusalem, fokus perang salib berubah di Damaskus, target yang diincar oleh Raja Baldwin III dan Ksatria Templar. Conrad didesak untuk mengambil bagian dalam ekspedisi ini. Saat Louis tiba, Haute Cour bertemu di Akko pada tanggal 24 Juni. Ini adalah pertemuan paling spektakular dari Cour dalam keberadaannya: Conrad, Otto, Henry II dari Austria, Frederick I, dan William V dari Montferrat mewakili Kekaisaran Romawi Suci; Louis, Bertrand anak dari Alphonse, Thierry dari Elsas, dan raja lainnya mewakili Perancis; dan dari Yerusalem, Raja Baldwin, Ratu Melisende, Patriarch Fulk, Robert dari Craon, Raymond du Puy de Provence, Manasses dari Hierges, Humphrey II dari Toron, Philip dari Milly, dan Barisan dari Ibelin. Catatan, tidak ada yang datang dari Antiokhia, Tripoli, ataupun dari Edessa datang. Beberapa orang Perancis menyadari kalau kewajiban mereka terpenuhi, dan mau pulang; beberapa bangsawan Yerusalem menunjuk bahwa tidak bijaksana untuk menyerang Damaskus, sekutu mereka melawan Dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin berisikeras, dan pada bulan Juli, pasukan itu bersiap di Tiberias.

Tentara Salib memilih untuk menyerang Damaskus dari timur, dimana kebun akan memberi mereka makanan konstan. Mereka tiba pada tanggal 23 Juli, dengan pasukan Yerusalem di garis depan, diikuti dengan Louis dan lalu Conrad sebagai penjaga belakang. Orang Muslim berisap untuk serangan dan langsung menyerang pasukan yang maju menuju perkebunan. Pasukan Salib mampu melawan mereka dan mengejar mereka kembali ke Sungai Barada dan menuju Damaskus; setelah tiba diluar tembok kota, mereka langsung menyerang Damaskus. Damaskus telah meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo dan Nuruddin dari Mosul, dan vizier, Mu'inuddin Unur, memimpin serangan yang tidak berhasil pada kemah pasukan salib. Ada konflik pada kedua kemah: Unur tidak mempercayai Saifuddin atau Nuruddin dari menguasai seluruh kota jika mereka menawarkan bantuan; dan pasukan salib tidak setuju siapa yang akan mendapatkan kota jika mereka merebutnya. Pada 27 Juli, pasukan salib memilih untuk bergerak ke bagian timur kota, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi memiliki sedikit persediaan makanan dari air. Nuruddin telah tiba dan tidak mungkin untuk kembali ke posisi mereka yang terbaik. Pertama Conrad, lalu sisa dari pasukan, memilih untuk mundur ke Yerusalem.

Semua sisi merasa dikhianati oleh yang lain. Rencana lain baru dibuat untuk menyerang Ascalon, dan Conrad membawa pasukannya kesana, tapi tidak ada bantuan tiba, karena tidak ada kepercayaan karena kegagalan serangan Damaskus. Ekspedisi Ascalon ditinggalkan, dan Conrad kembali ke Konstantinopel, dimana Louis tetap berada di Yerusalem sampai tahun 1149. Kembali ke Eropa, Bernard dari Clairvaux juga dipermalukan, dan ketika dia hendak memanggil perang salib yang gagal, dia mencoba memisahkan dirinya dari fiasco perang salib kedua. Dia meninggal pada tahun 1153. Serangan Damaskus membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya kepada Kerajaan Tentara Salib, dan Kota itu diambil oleh Nuruddin pada tahun 1154. Baldwin III akhirnya mengepung Ascalon pada tahun 1153, dimana membawa Mesir kedalam konflik ini. Yerusalem mampu membuat kemajuan memasuki Mesir, dengan singkat merebut Kairo pada tahun 1160. Namun, relasi dengan Kekaisaran Bizantium dicampur, dan bantuan dari barat jarang setelah bencana dari perang salib kedua. Raja Amalric I dari Yerusalem bersekutu dengan Bizantium dan berpartisipasi dalam invasi Mesir tahun 1169, tapi ekspedisi ini gagal. Pada tahun 1171, Saladin, keponakan dari salah satu jendarl Nuruddin, menjadi Sultan Mesir, mempersatukan Mesir dan Siria dan mengepung kerajaan tentara Salib. Setelah itu, aliansi dengan Bizantium berakhir dengan kematian kaisar Manuel I pada tahun 1180, dan pada tahun 1187, Yerusalem diserang dan direbut oleh Saladin. Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibukota dari semua daerah yang direbut tentara salib, menyulut terjadinya Perang Salib Ketiga.   Referensi: Pustaka utama * Anonymous. De expugniatione Lyxbonensi. The Conquest of Lisbon. Edited and translated by Charles Wendell David. Columbia University Press, 1936. * Odo dari Deuil. De profectione Ludovici VII in orientem. Edited and translated by Virginia Gingerick Berry. Columbia University Press, 1948. * Otto dari Freising. Gesta Friderici I Imperatoris. The Deeds of Frederick Barbarossa. Edited and translated by Charles Christopher Mierow. Columbia University Press, 1953. * The Damascus Chronicle of the Crusaders, extracted and translated from the Chronicle of Ibn al-Qalanisi. Edited and translated by H. A. R. Gibb. London, 1932. * William dari Tirus. A History of Deeds Done Beyond the Sea. Edited and translated by E. A. Babcock and A. C. Krey. Columbia University Press, 1943. * O City of Byzantium, Annals of Niketas Choniatēs, trans. Harry J. Magoulias. Wayne State University Press, 1984. * John Cinnamus, Deeds of John and Manuel Comnenus, trans. Charles M. Brand. Columbia University Press, 1976. Pustaka kedua * Michael Gervers, ed. The Second Crusade and the Cistercians. St. Martin's Press, 1992. * Jonathan Phillips and Martin Hoch, eds. The Second Crusade: Scope and Consequences. Manchester University Press, 2001. * Steven Runciman, A History of the Crusades, vol. II: The Kingdom of Jerusalem and the Frankish East, 1100-1187. Cambridge University Press, 1952. * Kenneth Setton, ed. A History of the Crusades, vol. I. University of Pennsylvania Press, 1958 (available online) Posted by Rifan Syambodo Categories: Label:

TOKOH-TOKOH PERANG SALIB

Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan kaum Muslim, awalnya diluncurkan sebagai jawaban atas permintaan dari Kekaisaran Bizantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Inilah tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Perang Salib.

Salahuddin Ayyubi adalah seorang jenderal dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan Tentara Salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud, ia adalah orang yang berhasil menaklukan Yerussalem.

Richard I (6 September 1157 – 6 April 1199) adalah raja Inggris antara tahun 1189 sampai 1199. Ia sering juga dijuluki Richard si Hati Singa (Inggris: Lion heart, Perancis: Cœur de Lion) karena keberaniannya. Ia adalah anak ketiga dari Henry II dari Inggris, dan merebut tahta Inggris dari ayahnya dengan bekerja sama dengan Phillip II dari Perancis pada tahun 1189. Richard I terkenal sebagai salah satu tokoh dalam Perang Salib, di mana salah satu keberhasilannya dalam perang tersebut adalah merebut Siprus untuk mendukung pasukan Perang Salib. setelah sampai di Acre Richard kemudian merebut Kota Acre pada tahun 1191 dan kemudian Richard mulai mengarahkan pasukannya untuk menyerbu Yerusalem. Pasukan Richard berjalan melalui garis pantai antara kota Acre dan Jaffa, ketika perjalanan menuju Kota Jaffa pasukan Richard dihadang pasukan Saladin dan terjadilah pertempuran di dekat kota Arsuf yang dimenangkan Richard dan memaksa Saladin mundur ke Yerusalem untuk bertahan. Richard akhirnya memasuki kota jaffa tanpa perlawanan karena kota sudah dibakar oleh Saladin.

Friedrich I Barbarossa[1] (1122 – 10 Juni 1190) adalah seorang Raja Jerman yang dipilih di Frankfurt pada tanggal 4 Maret 1152 dan dimahkotai di Aachen pada tanggal 9 Maret, dimahkotai sebagai Raja Italia di Pavia tahun 1154, dan dimahkotai sebagai Kaisar Kekaisaran Romawi Suci oleh Paus Adrianus IV tanggal 18 Juni 1155. Ia dimahkotai sebagai Raja Burgundi di Arles pada tanggal 30 Juni 1178.

Dracula yang selama ini digambarkan sebagai tokoh fiktif sebagai makhluk penghisap darah ternyata memang ada pada zaman Perang Salib, tetapi bukan sebagai kelelawar atau semacamnya yang digambarkan oleh Bram Stoker dalam bukunya, dia adalah makhluk kejam penyula rakyatnya. Pada waktu itu dia membantai lebih dari 10 ribu orang muslim, oleh karena itu dia diburu oleh Sultan Mehmed II. Akhirnya dia dipenggal di Danau Snagov. Jasadnya dikuburkan disana tetapi kepalanya di bawa ke Turki, setelah diteliti ternyata jenazahnya tidak ada.

Sultan Mehmed II nama aslinya adalah Muhammad Al-Fatih, dia menjadi Sultan Turki dan berhasil menaklukan Konstantinopel lewat aksinya yang sangat terkenal yang dikenal sebagai "Kapal yang Berlayar di Daratan" pada waktu itu dia memerintahkan prajurit untuk memindahkan kapalnya melewati gurun. Dia pula orang yang bermasalah dengan Dracula.

Baldwin IV (1161-16 Maret 1185), dengan julukan Kusta atau Lepra, anak Amalric I dari Yerusalem. Istri pertamanya, Agnes dari Courtenay, menjadi raja Yerusalem 1174-1185. Baldwin lahir di Yerussalem, separuh hidupnya dia jalani menghadapi penyakit lepra, dan pada tahun 1185 akhirnya dia meninggal karena penyakit yang di deritanya itu.   Sumber: http://azimuth29.blogspot.com

Pertarungan terakhir antara pesawat pesawat bermesin piston dan berbaling-baling tidak terjadi di langit Jerman pada tahun 1940-an atau bahkan di Korea pada tahun 1950-an. Tapi itu terjadi di Amerika Tengah pada tahun 1969, dan semua yang bertempur menerbangkan pesawat Corsair dan Mustang buatan AS. Pertempuran udara yang terjadi adalah salah satu tindakan terakhir dalam konflik empat hari yang singkat namun berdarah antara Honduras dan El Salvador, yang umumnya kerap disalah-artikan dikenal sebagai Perang Sepak Bola.

LATAR BELAKANG EL SALVADOR VS HONDURAS

El Salvador – kira-kira seukuran Wales – memiliki populasi sekitar 3 juta orang pada tahun 1969. Sebagian besar negara itu dikendalikan oleh para elit tuan tanah, yang hanya menyisakan sedikit ruang bagi petani El Salvador yang lebih miskin. Sementara itu tetangganya, Honduras – juga didominasi oleh sejumlah kecil tuan tanah – lima kali lebih besar, dan pada tahun yang sama memiliki populasi sekitar 2,3 juta. Akibatnya, sepanjang abad ke-20, orang-orang El Salvador pindah ke Honduras untuk memanfaatkan lebih banyak lahan pertanian yang tersedia, dan bekerja untuk perusahaan buah AS yang beroperasi di negara tersebut. Sekitar 300.000 orang El Salvador tinggal di bagian negara tetangganya pada tahun itu. United Fruit Company (sekarang Chiquita Foods International) saja memiliki lebih dari 10% wilayah Honduras! Dan meskipun mereka senang mempekerjakan orang-orang El Salvador, mereka tidak senang melihat begitu banyak dari mereka tinggal di wilayah pertanian utama. El Salvador muncul sebagai koloni Spanyol, pada abad ke-16, ketika orang Spanyol menaklukkan daerah itu, memperbudak penduduk Indian setempat dan mengembangkan perkebunan kapas, balsam dan nila. Kaum elit Eropa, yang terdiri dari 14 keluarga, menguasai hampir semua tanah, dan hal ini tetap terjadi setelah negara ini merdeka pada tahun 1821, bersama dengan banyak negara Amerika Latin lainnya. El Salvador adalah negara kecil dengan populasi yang besar dan berkembang pesat serta lahan yang tersedia sangat terbatas. Tekanan penduduk yang berat, yang semakin meningkat setiap tahunnya, ekonomi yang mengandalkan komoditas satu tanaman (berdasarkan kopi, yang menderita – dan masih menderita – akibat rendahnya harga kopi di pasar dunia), sedikitnya lahan yang dapat ditanami, dan distribusi pendapatan yang tidak merata, menjadi pemicu ketidakpuasan dan keresahan yang berhasil dieksploitasi oleh berbagai pihak. Sejalan dengan itu, sejarah El Salvador pada abad ke-19 dan ke-20 ditandai dengan kekerasan, kekacauan, dan intervensi militer. Pada tahun 1932, terjadi pemberontakan besar para petani dan suku Indian, yang ditumpas dengan darah dingin oleh Angkatan Darat El Salvador. Situasi tidak juga membaik setelah Perang Dunia II. Delapan dari sepuluh pemerintahan yang memerintah El Salvador antara tahun 1945 dan 1970, dipimpin oleh personel militer. Meskipun ada peningkatan ekonomi yang cukup besar pada tahun 1960-an, lebih dari 85% orang El Salvador menderita kemiskinan, pengangguran, kelebihan jumlah penduduk dan kekurangan lahan. Tidak mengherankan jika ribuan orang El Salvador beremigrasi ke negara tetangganya, Honduras.

Honduras di sisi lain memperoleh kemerdekaan dari Spanyol bersamaan dengan El Salvador, tetapi kemudian berkembang secara mandiri. Setelah sempat dianeksasi oleh Kekaisaran Meksiko, pada tahun 1823, Honduras bergabung dengan United Provinces of Central America yang baru dibentuk. Sejak saat itu, negara pegunungan ini berkembang sangat lambat. Dengan 50% wilayah Honduras yang belum terjamah, Honduras merupakan salah satu negara termiskin dan paling tidak berkembang di Amerika Latin. Perkembangan industrinya sangat terbatas, dan ekonominya selalu bergantung pada ekspor kopi dan pisang. Lebih dari 80% penduduknya (sekitar 4 juta jiwa pada akhir tahun 1960-an), hidup dalam kondisi yang sangat miskin. Pemogokan umum para pekerja perkebunan pisang pada bulan Oktober 1955, mengakibatkan kudeta oleh para perwira muda dan pembentukan junta sementara yang membuka jalan bagi pemilihan umum pada tahun 1957. Ramon Villeda Morales terpilih sebagai Presiden dan mengubah dirinya menjadi badan legislatif nasional dengan masa jabatan enam tahun. Bersamaan dengan itu, militer menjadi lembaga profesional, terlepas dari kepemimpinan partai politik tertentu. Akademi militer yang baru didirikan meluluskan angkatan pertamanya pada tahun 1960. Menurut konstitusi kontemporer, Presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, yang dikelola oleh Departemen Angkatan Bersenjata. Setiap warga negara diwajibkan mengikuti wajib militer selama 18 bulan antara usia 18 hingga 55 tahun, tetapi Angkatan Darat – yang berjumlah sekitar 3.500 orang yang diorganisir dalam dua batalyon infanteri dan sekitar 20 kompi infanteri di akhir tahun 1960-an – selalu diisi oleh para sukarelawan. Setelah beberapa tahun yang damai, pada bulan Oktober 1963, para perwira militer konservatif mendahului pemilihan umum konstitusional dan menggulingkan Villeda dalam sebuah kudeta berdarah. Jenderal Lopez Arellano kemudian menjadi pemimpin junta yang baru, dan segera menghadapi ketidakpuasan rakyat yang besar.

Memang, pada tahun 1969, Arellano berada dalam masalah besar. Situasi ekonomi yang buruk mengakibatkan kerusuhan politik dan konflik buruh. Pemilihan umum yang diadakan pada bulan Maret 1968, disertai dengan kekerasan dan tuduhan kecurangan terbuka, memicu ketidakpuasan publik dan menimbulkan kekhawatiran di dalam dan di luar negeri. Pemogokan umum yang diadakan pada akhir tahun itu berhasil dipadamkan oleh tindakan pemerintah, tetapi kerusuhan terus berlanjut dan pada musim semi 1969, dimana para guru dan kelompok-kelompok lain juga melakukan protes. Rezim Honduras – dan juga beberapa kelompok swasta – akhirnya menemukan solusi untuk situasi ini dengan menyalahkan sekitar 300.000 imigran ilegal asal El Salvador. Orang-orang Salvador ini kini merupakan 20 persen dari populasi Honduras. Tuduhan mulai dilontarkan, bahwa kehadiran imigran Salvador sama saja dengan invasi. Memang benar, mayoritas penduduk El Salvador di Honduras adalah petani miskin, yang satu-satunya klaim atas tanah yang mereka garap adalah kehadiran mereka secara fisik. Sebenarnya ini bukan masalah bagi – banyak – orang Honduras, tetapi mereka merasa terdesak dan dikelilingi oleh orang-orang El Salvador. Pertumbuhan toko-toko sepatu orang El Salvador di jalan-jalan di kota-kota besar dan kecil di Honduras, misalnya, menggarisbawahi kesenjangan ekonomi antara kedua negara. Sejalan dengan itu, masalah penghuni liar El Salvador menjadi titik kritis nasionalisme bagi Honduras. Pada bulan Januari 1969, pemerintah Honduras menolak untuk memperbarui perjanjian bilateral tentang imigrasi dari tahun 1967, yang dirancang untuk mengatur arus individu yang melintasi perbatasan bersama. Pada bulan April 1969, Tegucigalpa mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengusir semua orang yang memperoleh properti tanpa memenuhi persyaratan hukum. Media juga berkontribusi secara besar-besaran terhadap situasi tersebut, dengan mengembangkan iklim yang nyaris histeris, menyalahkan dampak dari tenaga kerja imigran El Salvador terhadap upah dan tingkat pengangguran di Honduras. Pada akhir Mei 1969, puluhan orang El Salvador dibunuh atau disiksa secara brutal, dan akibatnya puluhan ribu orang mulai mengalir kembali ke perbatasan – ke El Salvador yang sudah terlalu padat penduduknya. Reaksi El Salvador pun tidak kalah sengit, dengan mengklaim bahwa El Salvador memiliki semua tanah yang diduduki oleh para petani imigran di Honduras. Tidak butuh waktu lama hingga peta yang menunjukkan negara ini hampir satu setengah kali lebih besar dari kenyataannya mulai beredar.

Organisasi militer El Salvador relatif sederhana. Presiden adalah Panglima Tertinggi angkatan bersenjata, tetapi dengan kontrol yang dilakukan melalui Menteri Pertahanan, yang merupakan seorang tentara. Pria berusia antara 18 dan 30 tahun memenuhi syarat untuk masuk militer, tetapi sebenarnya dipanggil untuk dinas selama 12 bulan secara selektif. Majelis Nasional setiap tahun menetapkan kekuatan Angkatan Darat, yang dulunya memiliki personel sekitar 4.500 orang, pada tahun 1969, dan diorganisir dalam tiga batalion infanteri, satu skuadron kavaleri, dan satu batalion artileri. Semua unit ini dapat dikembangkan menjadi unit setara resimen dalam keadaan darurat, dan juga dapat mengambil bagian dalam Dinas Teritorial – dengan jumlah sekitar 30.000 orang dalam 12 unit infanteri – pada saat mobilisasi. Fuerza Aérea Salvadoreña berasal dari Dinas Penerbangan Militer, yang dibentuk pada tahun 1922. Setelah penandatanganan Perjanjian Rio pada tahun 1947, yang mengatur pertahanan timbal balik di antara negara-negara Amerika (termasuk Amerika Serikat), El Salvador mulai mendapat manfaat dari kehadiran Misi Udara AS dan peningkatan transfer pesawat terbang di bawah Program Bantuan Pertahanan Timbal Balik. Pada tahun 1954, Dinas Penerbangan Militer direorganisasi menjadi Fuerza Aérea de El Salvador (Angkatan Udara El Salvador, FAS) dengan bantuan AS. Setelah mengetahui tentang persiapan perang melawan Honduras, pada akhir musim semi 1969, Panglima Tertinggi FAS, Mayor Henriquez, mengirim sejumlah agen ke AS untuk mencari pesawat tempur tambahan, berapa pun biayanya: ini terutama untuk mencari F-51 Mustang milik pribadi, untuk menghindari embargo AS atas ekspor senjata yang diberlakukan terhadap El Salvador dan Honduras menyusul ketegangan yang berkepanjangan. Akhirnya, mereka berhasil mendapatkan sejumlah Mustang, seringkali dengan cara yang sangat rumit, biasanya dengan menerbangkannya melalui Haiti, Republik Dominika, dan beberapa Kepulauan Karibia lainnya. Pada saat yang sama, P-51D-25-NA yang dimiliki secara pribadi oleh warga negara El Salvador, Archie Baldocchi, juga diambil alih oleh FAS dan dipersenjatai, menjadi “FAS402” yang baru. Pemiliknya lalu dijadikan “asisten luar biasa” bagi Komandan FAS.

Melalui cara-cara seperti itu, FAS – yang saat itu berada di bawah komando Mayor Salvador Adalberto Henriquez – mampu mengumpulkan armada pesawat tempur berikut ini pada akhir bulan Juni 1969:

Catatan tentang kamuflase dan penandaan pesawat FAS:

Selain Mustang dan Corsair, FAS juga mengoperasikan empat Douglas C-47 Dakota dan satu pesawat transport Douglas C-54, lima Cessna U-17A dan dua 180, dua North American SNJ (versi Angkatan Laut AS T-6G Texan). Berlawanan dengan Angkatan Darat El Salvador, yang menikmati tingkat supremasi regional yang relatif tinggi, FAS merupakan kekuatan kecil, tidak berkembang dengan baik. Pada tahun 1969, FAS hanya memiliki 1.000 personel, yang diorganisir sebagai berikut:

* Secara nominal, semua pesawat dibentuk ke dalam Grupo de Combate, yang terdiri dari tiga skuadron penerbangan dan beberapa kelompok pendukung:

Meskipun ada waktu yang cukup untuk persiapan, bagian lebih baik dari FAS tidak dimobilisasi sepenuhnya. Dari hanya 34 pilot yang memenuhi syarat yang ada, tujuh orang ditugaskan ke maskapai penerbangan nasional, dua orang untuk tugas penyemprotan lahan pertanian (yang dipanen oleh FAS), dan dua orang lainnya menerbangkan satu-satunya pesawat Douglas DC-4M-1 FAS dalam misi penerbangan pengangkutan lobster reguler ke Miami, AS. Teknisi El Salvador yang terlatih dengan baik, terutama ada di Guatemala, tetapi jumlahnya tidak cukup dan mereka kekurangan suku cadang serta peralatan pendukung untuk pesawat-pesawat mereka. Oleh karena itu, kondisi sebagian besar pesawat sangat buruk – meskipun tingkat kemampuan menjalankan misi pada masa awal perang mendekati 100%. Armada Goodyear FG-1D Corsair secara teoritis cukup besar, tetapi pada kenyataannya sebagian besar pesawat telah dikanibal untuk suku cadang untuk menjaga sekitar enam pesawat dalam kondisi operasional. Kondisi dari pesawat-pesawat Corsair ini menghasilkan keputusan untuk mengakuisisi Cavalier TF-51D Mustang dan Cavalier Mustang 750, serta lima North American F-51D Mustang, yang diproduksi ulang oleh Trans Florida Aircraft. Namun, salah satu F-51D hilang dalam kecelakaan lepas landas di Ilopango, pada tanggal 8 Oktober 1968. Selain itu, pada tahun 1969, FAS hanya memiliki satu pangkalan udara, di Ilopango, meskipun terdapat beberapa landasan udara di seluruh negeri, termasuk di Pulau Madresal, San Miguel, Santa Ana, San Andres, dan Usultan.

Honduras telah terlibat dalam sejumlah perselisihan perbatasan dengan negara-negara tetangganya, terutama Guatemala, Nikaragua, dan El Salvador. Meskipun angkatan daratnya kecil, dan kurang diperlengkapi dengan baik dibandingkan El Salvador, angkatan udaranya berada dalam kondisi yang lebih baik, karena strategi pertahanan nasional didasarkan pada kekuatan udara, dengan Angkatan Darat dijaga pada level minimal selama masa damai. Oleh karena itu, Fuerza Aérea Hondureña(Angkatan Udara Honduras – FAH) mengoperasikan lebih banyak pesawat pengebom tempur (dan memiliki jumlah pilot yang cukup untuk pesawat-pesawat tersebut) daripada FAS. Mungkin yang sama pentingnya adalah fakta bahwa FAH akan bertempur dalam perang berikutnya di atas wilayah mereka sendiri – yang merupakan tujuan keberadaannya. Pada tahun 1969, FAH memiliki kekuatan sekitar 1.200 orang yang diorganisir dalam dua skuadron pesawat pembom tempur, yang dilengkapi dengan 12 hingga 14 Vought F4U Corsair (setidaknya sepuluh di antaranya masih utuh), serta satu pesawat angkut dan satu unit latihan, yang dilengkapi dengan enam pesawat angkut Douglas C-47, tiga helikopter, dan 27 pesawat lainnya. Rincian yang diketahui tentang pesawat-pesawat ini adalah sebagai berikut:

Pangkalan utama FAH pada saat itu adalah Toncontin, dekat Tegucigalpa, dan La Mesa, dekat San Pedro Sula.

Perkembangan yang secara langsung mengarah pada permusuhan antara El Salvador dan Honduras terletak pada aktivitas kelompok-kelompok bersenjata Honduras  – yang secara diam-diam didukung oleh pemerintah – melawan para petani El Salvador, yang terjadi pada saat pengusiran besar-besaran yang pertama kali terjadi di kemudian hari. Karena kedua pasukan kini berkumpul di sepanjang perbatasan bersama, tidak butuh waktu lama sampai beberapa insiden terjadi. Pasukan El Salvador berbaris ke Honduras dan ditangkap. Sebagai pembalasan, pihak berwenang El Salvador memenjarakan seorang kerabat presiden Honduras. Di tengah meningkatnya ketegangan, pada bulan Juni 1969, tim sepak bola kedua negara terlibat dalam pertandingan penyisihan tiga pertandingan sebagai penyisihan menuju Piala Dunia. Pertandingan ketiga di tanggal 27 Juni dalam posisi 2-2 setelah 90 menit di Stadion Azteca di Mexico City. Kualifikasi untuk Piala Dunia 1970 di Meksiko dipertaruhkan, sebuah kompetisi yang belum pernah diikuti oleh keduanya sebelumnya. Honduras memenangkan leg pertama 1-0 pada tanggal 6 Juni di ibu kota mereka Tegucigalpa, hanya untuk El Salvador yang menang 3-0 pada tanggal 15 Juni di kandang sendiri di San Salvador. Laporan kekerasan yang terjadi merusak suasana kedua game tersebut. Setelah menonton pertandingan pertama di di TV-nya, Amelia Bolaños yang berusia 18 tahun berlari ke laci ayahnya untuk mengambil pistolnya, dan menembak jantungnya sendiri. Dia segera dicap sebagai martir oleh pemerintah El Salvador, dan pemakamannya ditayangkan di TV negara El Salvador, di mana presiden El Salvador, menteri kabinet dan tim sepak bola nasional berjalan di belakang peti mati yang terbungkus bendera. Surat kabar El Nacional menulis: “Gadis muda itu tidak tahan melihat tanah airnya bertekuk lutut.” Beberapa berpendapat bahwa kesyahidannya, didorong secara signifikan oleh tindakan pemerintah El Salvador, yang mengakibatkan meningkatnya kerusuhan dan kekerasan penggemar pada pertandingan kualifikasi kedua. Meski menang orang-orang El Salvador masih marah dengan pertandingan pertama, sehingga beberapa penduduk setempat menyerang penonton Honduras. Dua orang Honduras tewas dalam kerusuhan di kota itu, sementara bus dan mobil yang menuju ke Honduras menjadi sasaran karena diyakini penumpangnya adalah orang Honduras. Cerita yang dibesar-besarkan mengungkapkan tentang pertumpahan darah dan orang Honduras yang disandera. Di Honduras meledak huru-hara. Toko-toko milik orang-orang El Salvador dirusak dan dijarah sementara pemiliknya dipukuli. Warga El Salvador menjadi sasaran massa, dan banyak yang diseret keluar dari rumah dan tempat kerja mereka. Toko-toko yang menjual barang-barang El Salvador di Tegucigalpa dan San Pedro Sula diserang, terlepas dari siapa pemiliknya. Orang-orang El Salvador kemudian mulai melarikan diri kembali melintasi perbatasan, diserang oleh massa yang marah dan oleh penjahat yang ingin menghasilkan uang dengan cepat. Rumah-rumah milik orang El Salvador dijarah dan dibakar, sementara sejumlah wanita diperkosa.

Diyakini bahwa sebanyak 1.400 orang mengalir kembali ke El Salvador setiap harinya, sebagian besar dengan berjalan kaki. El Salvador lalu menuduh Honduras melakukan genosida dan meminta Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) untuk campur tangan, tetapi tidak berhasil. Kemudian saat pertandingan penentuan memasuki menit ke-11 perpanjangan waktu, pemain El Salvador Mauricio “Pipo” Rodríguez berlari ke area penalti untuk menyambut umpan silang dan memasukkan bola melewati kiper Honduras Jaime Varela. El Salvador bertahan untuk menang 3-2. Para pemain berpelukan, berjabat tangan, dan meninggalkan lapangan. Kerusuhan sebenarnya sudah terjadi pada pertandingan pertama, di Tegucigalpa, namun situasi hampir tidak terkendali pada pertandingan kedua di San Salvador – yang pada akhirnya membuat para pengamat yang kurang informasi menyimpulkan bahwa yang terjadi perang berikutnya disebabkan oleh kebencian akibat sepak bola, dan menyebutnya sebagai “Perang Sepak Bola”. “Sebagian besar perang ini adalah tentang tanah yang tersedia, terlalu banyak orang di tempat yang terlalu kecil, dan oligarki yang berkuasa hanya mengobarkan konflik ini lewat pers,” kata Dan Hagedorn, penulis The 100 Hour War, yang merinci konflik tersebut. Sementara itu, upaya pemerintah Honduras untuk melucuti senjata penduduknya sendiri dengan cepat berubah menjadi perburuan terhadap orang-orang El Salvador di daerah perbatasan. Pada tanggal 24 Juni, pemerintah El Salvador mengerahkan militernya, dan dua hari kemudian mengumumkan keadaan darurat. Sebagai reaksinya, pada tanggal 27 Juni 1969, Honduras memutuskan hubungan diplomatik dengan El Salvador.

Kedua angkatan udara juga aktif – dan menjadi terlibat pertempuran – juga. Pada tanggal 3 Juli, sebuah pesawat DC-3 milik Servicio Aéreo de Honduras diserang oleh tembakan senjata anti pesawat AAA setelah lepas landas dari Nueva Ocotepeque. Awak pesawat melaporkan kejadian tersebut dan dua T-28 FAH dikerahkan untuk melakukan pemeriksaan. Beberapa jam kemudian, sebuah Piper PA-28 Cherokee (dengan nomor registrasi YS-234P), terdeteksi ketika sedang terbang di atas Gualcince dan Candelaria, dekat perbatasan El Salvador dan dicegat oleh dua T-28 FAH. Meskipun ada perintah untuk mendarat, pilot El Salvador berhasil melintasi perbatasan dengan selamat. Pesawat Cherokee tersebut sebenarnya merupakan bagian dari upaya FAS untuk mengintai jalur yang memungkinkan untuk masuk ke wilayah Honduras, yang juga melibatkan sebuah pesawat Cessna 310 dari Instituto de Cartografia Nacional (Lembaga Pemetaan Nasional), dan telah berlangsung sejak akhir bulan Juni. Memahami pentingnya operasi ini dan pelanggaran wilayah udaranya, Honduras mengulangi tuduhan atas pelanggaran wilayah udaranya oleh pesawat-pesawat FAS pada hari-hari berikutnya. Selama beberapa hari berikutnya, Honduras berulang kali menuduh El Salvador melanggar wilayah udaranya; sementara itu FAH dimobilisasi dan, pada tanggal 12 Juli, memulai Operasi “Base Nueva“, dengan mengerahkan semua pesawatnya ke La Mesa AB, di San Pedro Sula, tempat Komando Utara dibentuk yang bertanggung jawab atas semua operasi selama konflik berikutnya. FAS juga dimobilisasi, dan mengerahkan aset-asetnya di berbagai lapangan terbang, termasuk Pulau Madresal, San Miguel, Santa Ana, San Andres, dan Usultan, sembari meminta sejumlah pilot sipil untuk menjadi sukarelawan. Sebagai contoh, semua pesawat Mustang terkonsentrasi di Pulau Madre Sal, sebuah pangkalan rahasia yang didirikan tak lama sebelum permusuhan. Pangkalan ini tersembunyi dengan baik, tetapi juga sangat sulit dijangkau oleh apa pun kecuali menggunakan pesawat.

Pada awal perang, pesawat Mustang dan Corsair FAS 100% siap beroperasi dan beraksi, mendukung pasukan darat. Namun, pilot-pilot mereka mengalami beberapa masalah. Tangki bahan bakar yang dipasang di ujung sayap pada Cavalier Mustang ternyata memiliki efek negatif pada kemampuan manuver pesawat, dan harus dilepas. Baldocchi kemudian merancang fillet untuk dipasang di tempatnya, sekaligus memberikan kontrol dan stabilitas yang lebih baik. Radio yang terpasang juga tidak memuaskan dan oleh karena itu Baldocchi memasang radio Angkatan Darat, yang diambil dari beberapa jip komando. Yang terakhir, pesawat ini tidak memiliki reflektor senjata yang reflektif dan ini harus diganti, dan pemilik Mustang El Salvador yang giat akhirnya merancang juga tangki cadangan yang terbuat dari serat kaca untuk meningkatkan jangkauan tanpa menambah berat pesawat secara serius. Sementara itu, sebagian besar Angkatan Darat El Salvador dikerahkan di sepanjang perbatasan dekat Teluk Fonseca dan El Salvador utara, untuk mempersiapkan serangan ke Honduras. Jenderal Gerardo Barrios dari El Salvador mengembangkan sebuah rencana yang menyatakan bahwa FAS akan mengebom lapangan terbang Toncontin, dekat Tegucigalpa, untuk menghancurkan pesawat-pesawat FAH di darat. Serangan udara tambahan akan diterbangkan ke sejumlah kota lain di Honduras. Secara bersamaan, lima batalyon infanteri dan sembilan kompi Garda Nasional akan dikerahkan di empat wilayah operasi dan dengan cepat merebut kota-kota utama Honduras di sepanjang perbatasan, terutama sebelum Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) bereaksi dengan memberi sanksi apa pun. Pada pertengahan bulan Juli 1969, El Salvador telah siap – dan perang pun tak terhindarkan.

Serangan El Salvador dimulai pada sore hari tanggal 14 Juli, dengan pergerakan bersama dua pasukan, yang berjumlah lebih dari 12.000 orang, terhadap tiga pos perbatasan di dekat kota Nueva Ocotepeque, Gracias a Dios, dan Santa Rosa de Copan. Pos-pos tersebut dengan cepat direbut dan pasukan El Salvador kemudian bergerak maju di sepanjang jalan utama yang menghubungkan kedua negara. Di Medan Perang Utara tentara El Salvador menyertakan unit kecil kendaraan lapis baja untuk melengkapi prajuritnya, sedangkan di Medan Perang Timur menyertakan unit mekanis yang lebih besar dengan tank seperti M3 Stuart, serta senjata otomatis buatan Belgia dan Howitzer M101 kaliber 105mm. Berikutnya tentara El Salvador merebut kota San Juan Guarita, Valladolid, La Virtud, Caridad, Aramecina, dan La Labor. Cabañas tetap bertahan kuat, tetapi itu tidak menjadi masalah karena, saat malam tiba, orang-orang El Salvador mendekati ibu kota Tegucigalpa. Pada saat yang sama, FAS melancarkan serangan “habis-habisan”, mengerahkan semua pesawat yang tersedia untuk menyerang lapangan terbang Honduras dan konsentrasi pasukan di sepanjang perbatasan, serta target-target di pulau-pulau Honduras di Teluk Fonseca. Sekitar pukul 18:10, pesawat C-47 El Salvador yang diterbangkan oleh Mayor Jorge Domínguez dan Fidel Fernandez, tiba di atas Tegucigalpa, kru mereka meluncurkan bom-bom seberat 45 kg dari pintu kargo di lapangan terbang Toncontin. Serangan ini akan didukung oleh dua pesawat Cavalier Mustang, namun tidak pernah mencapai targetnya, sementara C-47 lainnya yang dikirim untuk menyerang Toncontin justru mengebom Catacamas. Sementara itu, pesawat FAS lainnya – termasuk 14 pesawat yang diambil dari operator sipil – mencapai target mereka, semua kecuali satu yang kembali dengan selamat ke lapangan terbang yang berbeda, bukannya ke Ilopango. Pesawat yang hilang adalah TF-51D, yang diterbangkan oleh Kapten Benjamin Trabanino: pesawat ini mendarat di La Aurora IAP, di Guatemala, tampaknya dalam keadaan darurat. Pesawat ini diinternir dan tetap berada di sana hingga akhir perang.

FAH benar-benar terkejut: hampir 50% pesawatnya diparkir di Tegucigalpa (separuh lainnya di La Mesa, yang tidak diserang oleh FAS), dan para pilotnya dibebaskan untuk pulang pada malam itu juga. Pihak Honduras sangat beruntung karena tidak ada satu pun pesawat mereka yang rusak. Empat pesawat Corsair kemudian dikerahkan untuk mengejar C-47 yang menyerang Toncontin, namun mereka tidak dapat melakukan kontak karena malam telah tiba. Serangan C-47 El Salvador tidak terlalu tepat atau efektif, tetapi memiliki efek yang cukup besar pada moral Honduras. Yang terburuk, sebagian besar malam berikutnya, para komandan tinggi FAH harus berdebat dengan para pemimpin militer negara – yang sebagian besar adalah perwira infanteri – bahwa angkatan udara harus menyerang balik, jauh ke dalam wilayah El Salvador, dimana lebih baik menghancurkan cadangan bahan bakar musuh untuk mencegah Angkatan Darat El Salvador maju jauh ke dalam wilayah Honduras. Memang, di darat, Angkatan Darat El Salvador yang memiliki perlengkapan yang lebih baik membuat kemajuan yang baik dan cepat, mendesak satu-satunya batalyon Honduras yang mempertahankan perbatasan sejauh lebih dari delapan kilometer ke arah ibukota departemen Nueva Ocotepeque.

COUNTER OFFENSIF UDARA FAH

Meskipun menerbangkan pesawat-pesawat kuno dari era Perang Dunia II, FAH masih beroperasi sesuai dengan doktrin modern standar, dengan tugas pertama menetralisir kekuatan udara musuh dan menghancurkan instalasi-instalasi yang mendukung kemampuan strategis El Salvador untuk berperang. Sejalan dengan itu, hanya beberapa jam setelah tengah malam, C-47 FAH pertama lepas landas untuk menyerang target-target yang berada jauh di dalam wilayah El Salvador. Dalam misi kontra udara FAH pertama, sebuah C-47 tunggal yang diluncurkan sekitar pukul 01:40 pada pagi hari tanggal 15 Juli, dibatalkan ketika pesawat mengalami kerusakan teknis. Namun, misi kedua mengakibatkan 18 bom dijatuhkan di tempat yang diyakini oleh pilot Dakota – Kapten Rodolfo Figueroa – sebagai bandara Ilopango, pada pukul 04:18 pagi. Tidak ada kerusakan sama sekali: pada kenyataannya, tidak ada laporan dari pihak El Salvador mengenai ledakan apapun di dekat lapangan terbang tersebut. Formasi FAH berikutnya menyusul tak lama kemudian. Pada pukul 04:22, tiga F4U-5N dan satu F4U-4, yang dipimpin oleh Mayor Oscar Colindres, mendekati Ilopango. Melepaskan bom dari ketinggian lebih dari 3.000 meter untuk menghindari dampak terburuk dari tembakan AAA El Salvador. Pilot-pilot Honduras cukup tepat menyerang sasaran. Landasan pacu terdapat kawah di satu tempat, dan bom Mayor Colindres menghantam sebuah hanggar, menyebabkan kerusakan tidak hanya pada bangunan tersebut, namun juga pada sebuah Cavalier Mustang FAS (kemungkinan reruntuhan dari contoh yang jatuh pada tahun 1968) yang terparkir di dalamnya, serta instalasi lain di sekitarnya. Beberapa menit kemudian, pesawat-pesawat Corsair FAH menukik ke Pelabuhan Cutuco dan melepaskan roket-roketnya, menyebabkan kerusakan parah pada kilang bahan bakar di kilang minyak La Union, milik Standard Oil.

Sementara itu, empat Corsair FAH lainnya menyerang tangki bahan bakar di Acajutla. Sekali lagi, tidak ada perlawanan dari FAS. Sebagian besar pesawat pengebom tempur El Salvador sedang sibuk menyerang target-target di Honduras dan El Salvador tidak memiliki jangkauan deteksi radar sama sekali. Akibatnya, serangan tersebut sangat mengejutkan dan menyebabkan banyak kerusakan – bahkan jika pasokan gas butana lokal tidak terkena serangan. El Salvador kehilangan hingga 20% cadangan strategisnya dalam serangan ini saja. Sebagai gantinya, F4U-5N yang diterbangkan oleh Kapten Lopez rusak akibat tembakan AAA, memaksa pilot untuk mengalihkan mendarat ke peternakan El Pilar, dekat Morales, di Guatemala. Pilot dan pesawatnya diinternir dan baru kembali setelah perang usai. Sementara itu, sebuah Cavalier Mustang dan sebuah Corsair FAS menyerang Toncontin, menghindari pesawat tunggal T-28A yang melaksanakan misi CAP di atas Tegucigalpa dengan mendekat pada ketinggian yang sangat rendah. Melewati Corsair FAH yang diterbangkan oleh Letnan Kolonel Jose Serra, yang sedang lepas landas, masing-masing pesawat tempur menjatuhkan dua bom dan kemudian menghantam sasaran yang berbeda, namun tidak ada kerusakan yang berarti. Ketika serangan El Salvador berkembang, pilot T-28 FAH, Letnan Kolonel Roberto Mendoza Garay, diberitahu dan segera melakukan perubahan arah untuk mencegat. Serra sudah mencoba menyerang Cavalier Mustang, tetapi senjatanya macet. Usahanya ini masih cukup untuk membuat pilot FAS berbelok dan melepaskan diri. Sementara itu, Mendoza menyerang FG-1D dan mencetak beberapa tembakan, menyebabkan Corsair FAS itu keluar dari area tersebut dan meninggalkan jejak asap yang tebal. Kapten Reynaldo Cortéz cukup beruntung dapat mengembalikan pesawatnya yang rusak ke Ilopango.

Serangan udara balasan FAH terhadap Ilopango dan depot-depot penyimpanan minyak El Salvador dikatakan berhasil. Meskipun hal ini terkadang masih diperdebatkan, serangan-serangan ini pada akhirnya menyebabkan masalah besar bagi El Salvador, kemudian dengan depot-depot bahan bakar yang terbakar, Angkatan Darat El Salvador akhirnya kehabisan bahan bakar dan harus menghentikan serangannya ke Honduras. Namun demikian, di bawah kesan dari serangan FAS di Toncontin, presiden Honduras kemudian melarang pilotnya untuk menerbangkan serangan lebih lanjut di atas El Salvador. Selama sisa perang, mereka hanya boleh menerbangkan misi CAP defensif atau misi dukungan udara jarak dekat untuk Angkatan Darat Honduras. Sejalan dengan itu, pada pukul 08:00, dua Corsair FAH menyerang pasukan El Salvador di sektor El Amatillo – tanpa hasil yang berguna. FAS tetap aktif, kemudian hampir secara bersamaan sebuah C-47 FAS mengebom jalan menuju Nueva Ocotepeque, sebuah FC-1D FAS menyerang posisi Honduras di Alianza, dan dua FG-1D menyerang di daerah Aramecina. Beberapa menit kemudian, dua F4U FAH yang menyerang posisi El Salvador di dekat Citala bertemu dengan C-47 “FAS-101” FAS, yang diterbangkan oleh Mayor Velasco dan Kapten Panameno. Kolonel Rulio Rivera dari FAH segera menyerang, mengenai sasarannya pada badan pesawat dan salah satu mesin, tetapi Dakota itu berhasil lolos: melakukan pendaratan darurat di Ilopango dan tetap tidak dapat digunakan hingga akhir perang. Tak lama kemudian, Rivera juga mendeteksi sebuah Cavalier Mustang. Setelah pengejaran singkat, pilot Honduras itu menembakkan satu tembakan dari kanon-nya, tetapi tidak berhasil mengenai sasaran. Dengan ini, aktivitas tempur kedua angkatan udara telah berakhir – untuk hari itu. Pesawat-pesawat angkut FAS tetap aktif, kemudian pasukan El Salvador merebut sebuah landasan udara di dekat San Marcos Ocotepeque. Ini kemudian dengan cepat dipersiapkan untuk dapat menerima C-47 dan dimanfaatkan dengan baik.

GERAK MAJU EL SALVADOR

Pada pagi hari tanggal 16 Juli, pasukan Angkatan Darat El Salvador mengamankan Nueva Ocotepeque dan melanjutkan pergerakan mereka di sepanjang jalan raya menuju Santa Rosa de Copan, dengan didukung oleh sebuah C-47 FAH dan dua pesawat Mustang. Dua pesawat Mustang tambahan akan lepas landas dari Ilopango, ketika mereka bertabrakan karena kerusakan mekanis pada salah satu pesawat. Keduanya mengalami kerusakan berat. Dengan demikian, FAS kehilangan empat pesawat dalam waktu hampir dua hari operasi. Dengan moral yang anjlok karena kehilangan pesawat dan masalah pemeliharaan, angkatan udara El Salvador secara efektif tidak beroperasi selama sisa hari itu. FAH kemudian menggunakan kesempatan ini untuk mengangkut seluruh Batalyon Guardia de Honor dari Tegucigalpa ke Santa Rosa de Copan. Empat pesawat C-47 dikerahkan untuk tugas ini, dan mereka mengangkut 1.000 tentara bersama dengan peralatan mereka sepanjang hari, yang sepanjang waktu dikawal oleh pesawat-pesawat Corsair dan T-28. Sementara itu, lima pesawat Corsair, dua AT-6, tiga T-28A, dan satu C-47 digunakan untuk menyerang unit-unit El Salvador di garis depan El Amatillo. Menerbangkan 13 sorti pada siang hari, mereka terbukti menentukan dalam menghentikan serangan. Sisanya dilakukan oleh pasukan Angkatan Darat Honduras. Serangan mereka pada akhirnya memaksa pasukan El Salvador untuk mundur.

MAYOR SOTO VS EL SALVADOR

Pada pagi hari tanggal 17 Juli 1969, pasukan Angkatan Darat El Salvador dan Honduras terjebak dalam sebuah pertempuran antara Nueva Ocotopeque dan Santa Rosa de Copan. Pasukan El Salvador maju dengan semangat tinggi, tetapi Batalyon Guardia de Honor Honduras – yang didukung oleh pesawat-pesawat Corsair dari Toncontin dan La Mesa – memberikan perlawanan penuh semangat. Pertempuran sengit juga terjadi di garis depan El Amatillo, dan sekitar tengah hari, tiga pesawat Corsair – yang diterbangkan oleh Mayor Fernando Soto Henriquez, Edgardo Acosta, dan Francesco Zapeda – bergegas menyerang posisi artileri El Salvador di daerah tersebut. Mendapati bahwa senjatanya macet, Zapeda membatalkan misinya dan kembali sendirian ke Toncontin. Ketika sedang dalam perjalanan, dia dicegat oleh dua Cavalier Mustang FAS, yang dipimpin oleh Kapten Douglas Varela. Pasukan El Salvador menyerang pesawat tempur Honduras yang tidak bersenjata itu, namun Zapeda berhasil menghindar cukup lama sehingga Soto dan Acosta dapat kembali dan membantu. Setelah pertempuran singkat, Varela ditembak jatuh oleh Mayor Fernando Soto, sementara pesawat Mustang lainnya, yang diterbangkan oleh Kapten Lobo, menghindar dengan terbang pada ketinggian yang sangat rendah ke arah Teluk Fonseca. Masih belum jelas apakah Varela yang nahas itu terjun payung dengan selamat dan terbunuh di atas tanah, atau terjun payung dengan luka parah, atau jatuh dalam pesawatnya. Pertempuran udara yang sukses yang dilakukan oleh pesawat-pesawat Corsair FAH diikuti oleh serangan udara dari pesawat-pesawat C-47, AT-6 dan T-28 Honduras terhadap posisi artileri El Salvador. Kekalahan Varela sangat memukul FAS. Angkatan udaranya sudah kekurangan pilot berpengalaman. Bahkan jika sejumlah penerbang cadangan yang berpengalaman dimobilisasi, tidak ada cukup pilot untuk semua pesawat Mustang dan Corsair, dan akibatnya El Salvador harus mempekerjakan lima tentara bayaran – termasuk Jerry DeLarm dan “Red” Gray. Mereka kemudian terbukti tidak terlalu bersemangat untuk terlibat dalam pertempuran udara dengan pesawat-pesawat Corsair Honduras. Pada kenyataannya, menurut para veteran FAS yang masih hidup, baik DeLarm maupun Gray lebih suka menanjak dan melarikan diri saat bertemu dengan pesawat tempur FAH – sering kali mereka meninggalkan pilot-pilot El Salvador yang seharusnya mereka lindungi.

Namun demikian, FAS harus terus bertempur. Pada sore hari, dua FG-1D diterbangkan dari Ilopango untuk melakukan misi CAP di atas El Amatillo. Hampir di daerah itu, mereka bentrok dengan dua CorsairFAH, sekali lagi dipimpin oleh Mayor Soto Henriquez – yang pada gilirannya sedang berusaha menghabisi unit-unit lokal El Salvador. Soto adalah salah satu pilot paling berpengalaman di angkatan udara Honduras. Melihat lawan-lawannya menjauh ke arah perbatasan, Mayor Soto memutuskan untuk tidak mematuhi perintah tetapnya dan mengikuti mereka ke El Salvador. Beberapa menit kemudian, dia akhirnya berakhir di belakang FG-1D yang diterbangkan oleh Kapten Cezena (menerbangkan FAS-204). Menyerang dengan kanon kaliber 20mm, Soto mencetak tembakan di badan pesawat dan sayap, memaksa Cezena untuk mengeluarkan diri. Kemudian pertempuran udara klasik terjadi antara dua pesawat Corsair, satu dibuat oleh Vought dan yang lainnya oleh Goodyear, memulai pertarungan manuver klasik masing-masing terbang melebar, menukik, dan memutar untuk mendapatkan bidikan yang jelas satu sama lain. Saat itu pilot El Salvador lainnya, Kapten Cortéz berada di belakang Soto dan mencetak beberapa tembakan. Soto menghindar dan, setelah beberapa manuver keras yang menurut Soto “seperti seabad”, Soto melakukan manuver split-S yang membuatnya berakhir di belakang Cortéz. Menembakkan beberapa tembakan dari kanon kaliber 20 mm kemudian FG-1D kedua FAS meledak, menewaskan pilotnya. Wingman Soto, Mayor Acosta, tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Setelah mengalami masalah dengan radionya, ia melihat dua Cavalier Mustang FAS berada di atas, tampaknya sedang menunggu kesempatan untuk menyerang. Acosta melepaskan diri dengan menukik cepat dan kembali dengan selamat ke Toncontin. Kemenangan Soto ini adalah pertempuran udara-ke-udara terakhir antara Honduras dan El Salvador, dan Soto mengakhiri perang dengan hanya tiga kemenangan udara yang tercatat. Dia kemudian akan menjadi direktur penerbangan sipil dan dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh Kongres Nasional Honduras pada tahun 2003. Dia meninggal tiga tahun kemudian. Sementara itu, dengan kemenangan udara Mayor Soto Henriquez yang kedua dan ketiga, yang diperoleh dalam pertempuran yang sama, FAH secara efektif membangun keunggulan udara atas Honduras – dan dengan demikian diatas medan perang. Hal ini terutama karena moral – yang sudah rendah – di dalam FAS benar-benar hancur ketika pada sore hari yang sama, sebuah FG-1D dan pilot berpengalaman lainnya, Kapten Mario Echeverria, ditembak jatuh, kali ini oleh AAA El Salvador, di atas Teluk Fonseca. Pukulan terakhir kemudian diberikan oleh aksi gabungan Angkatan Darat Honduras dan FAH. Pada sore hari tanggal 17 Juli, satu barisan Garda Nasional El Salvador disergap di sekitar peternakan San Rafael de Matrás dan kemudian diserang oleh dua pesawat Corsair FAH. Unit El Salvador ini menderita lebih dari 30 korban tewas dan luka-luka.

GENCATAN SENJATA PERTAMA

Sementara C-in-C FAS, Mayor Henriquez, berjuang keras untuk membawa F-51 Mustang tambahan – yang diperoleh secara sembunyi-sembunyi di Amerika Serikat – ke dalam layanan operasional, FAH dapat melanjutkan operasinya untuk mendukung Angkatan Darat di lapangan tanpa terlalu banyak gangguan. F4U dari Toncontin pertama-tama menghantam posisi El Salvador di dekat San Marcos Ocotepeque dan Llano Largo dengan bom napalm, dan kemudian di bukit El Ujuste, sementara pesawat-pesawat Corsair dari La Mesa mengebom pasukan El Salvador di daerah Chalatenago. Menjelang sore hari, pasukan Honduras bergerak maju di daerah El Amatillo dan di tempat lain – hingga dihentikan oleh perintah dari Komando Tertinggi, sekitar pukul 21.30 malam. Pada awal hari itu, perwakilan OAS akhirnya turun tangan dalam konflik tersebut, memerintahkan kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata, yang berlaku mulai pukul 22.00, serta meminta penarikan pasukan El Salvador dari wilayah Honduras yang diduduki. Rezim di Tegucigalpa siap untuk menghentikan pertempuran, tetapi pemerintah El Salvador menolak untuk mematuhinya, dan sebaliknya – mengingat keberhasilan awal – mempertimbangkan peluang untuk bergerak maju ke Tegucigalpa. Akan tetapi, operasi semacam itu berada di luar kemampuan militer El Salvador, terutama mengingat fakta bahwa pada saat itu FAH menguasai langit. FAS sendiri juga bisa berharap untuk dapat kembali menguasai langit karena pada pagi hari tanggal 19 Juli, pesawat pertama dari tujuh pesawat Mustang yang dibeli di Amerika Serikat mulai berdatangan. Akibatnya, pertempuran terus berlanjut – bahkan setelah OAS menyatakan El Salvador sebagai negara agresor.

Mematuhi gencatan senjata, FAH menghabiskan tanggal 19 Juli di darat. Akan tetapi, FAS menggunakan kesempatan itu untuk menerbangkan beberapa C-47 yang memuat pasokan ke landasan udara dekat San Marcos de Ocotepeque dan membawa amunisi yang sangat dibutuhkan untuk pasukan di garis depan. Pada saat yang sama, para teknisi bekerja dengan tergesa-gesa untuk mempersenjatai kembali tujuh pesawat Mustang yang telah tiba dari Amerika Serikat. Untuk memperkuat posisi mereka, pada tanggal 27 Juni, pasukan Honduras melancarkan serangan ke lima kota perbatasan El Salvador. Pertempuran berlanjut hingga tanggal 29 Juli, ketika OAS menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap El Salvador. Misi pasokan FAS kemudian berlanjut hingga bulan Agustus, dengan dikawal oleh pesawat-pesawat Mustang yang baru dibeli. Akhirnya meninggalkan wilayah Honduras pada tanggal 2 Agustus 1969, El Salvador menerima janji dari pemerintah Arellano bahwa para imigran yang tinggal di Honduras akan dilindungi. Sebagai kesimpulan dari konflik ini, dapat dikatakan bahwa aksi udara benar-benar menentukan. Perang ini terjadi di daerah pegunungan, di mana komunikasi darat sangat buruk. Kedua belah pihak tidak memiliki artileri yang dapat digerakkan sendiri, dan pergerakan unit apa pun sangat bermasalah. Dalam keadaan seperti itu, ketersediaan dukungan udara jarak dekat, atau serangan interdiksi terhadap jalur komunikasi musuh serta depot pasokan, sangat menentukan. FAH yang sedikit lebih besar – dalam hal pesawat tempur yang tersedia – tidak hanya menghancurkan kekuatan FAS secara besar-besaran, tetapi juga merusak fasilitas penyimpanan minyak El Salvador. Pencapaian pertama secara praktis melumpuhkan angkatan udara El Salvador, sementara pencapaian kedua – bisa dibilang – memaksa Angkatan Darat El Salvador untuk menghentikan gerak maju mereka. Fakta bahwa FAH berhasil membangun superioritas udara di dalam wilayah udaranya sendiri, tanpa mengalami kerugian, membuka jawaban atas pertanyaan apa yang mungkin terjadi jika Komando Tinggi Honduras mengizinkan angkatan udara menerbangkan serangan udara tambahan terhadap depot-depot penyimpanan minyak El Salvador, seperti yang diminta oleh pimpinan FAH. Jelas, kekuatan udaranya dapat memainkan peran utama dalam konflik ini.

Meskipun sumber-sumber yang berbeda – terutama dari pihak El Salvador – bersikeras bahwa Fuerza Aérea Hondureña mengalami kerugian hingga delapan pesawat Corsair selama perang, faktanya semua Corsair FAH dapat dilacak keberadaannya, dan jelas tidak ada yang hilang pada tahun 1969 (sebaliknya, semuanya dijual di AS, pada tahun 1974, termasuk reruntuhan dua F4U yang dihapuskan dari dinas operasional dalam insiden-insiden setelah Perang 100 Jam). Ada kemungkinan bahwa FAH kehilangan beberapa pesawat AT-6 dan BT-13 yang terbengkalai, yang digunakan sebagai umpan di Toncontin atau lapangan terbang lainnya. Tanpa disangka-sangka – dan meskipun mengalami kerugian besar di lapangan – konflik yang pahit ini menimbulkan rasa nasionalisme dan kebanggaan nasional Honduras yang baru, dengan tanggapan rakyat terhadap pertempuran – secara tidak langsung – memberikan kesan yang kuat bagi para penguasa dan berkontribusi pada peningkatan pengeluaran untuk pembangunan nasional dan kesejahteraan sosial. Hasil lainnya adalah bahwa FAH sangat diperkuat pada tahun 1970-an, berkembang menjadi salah satu angkatan udara Amerika Latin yang paling lengkap kekuatannya dan paling disegani. Di sisi lain, FAS tidak hanya mengalami masalah yang luar biasa ketika mencoba untuk mendukung angkatan darat yang bergerak maju atau mempertahankan pesawat yang tersedia agar tetap beroperasi, tetapi juga menderita kerugian besar. Serangan udara balasan pembuka El Salvador gagal total, dan kemudian FAS menyerah dengan posisi komandannya yang lemah di dalam junta militer. Sebagai seorang mayor yang dikelilingi oleh para jenderal infantri, Henriquez tidak dapat memperoleh dukungan yang cukup untuk angkatan udaranya. Tanpa dukungan ini, pasukan darat El Salvador yang bergerak maju ke Honduras bergantung pada belas kasihan FAH. Akibatnya, operasi FAS berikutnya terlalu sedikit dan terlambat, terutama ketika pasukannya mulai mengalami kekalahan. Mengingat ukurannya yang kecil, masing-masing merupakan pukulan berat, terutama karena empat pilotnya yang sangat berpengalaman tewas. Hal yang sama dirasakan adalah dalam hal kehilangan pesawat. Untuk angkatan udara yang berperang dengan 12 Mustang dan FG-1D bermesin piston, kehilangan empat Corsair saja sudah merupakan malapetaka; apalagi ketika korban di dalam komunitas Mustang ditambahkan, kesimpulannya adalah FAS hampir bertempur hingga “kekuatan terakhirnya.” Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Angkatan Udara El Salvador keluar dari konflik dengan gengsi yang tinggi, jika tidak ada alasan lain selain karena ikut ambil bagian dalam apa yang dianggap sebagai kemenangan militer El Salvador.

Namun, secara keseluruhan, seperti banyak konflik lain di belahan dunia ini, Perang 1969 antara Honduras dan El Salvador menghasilkan kerugian dan kerusakan yang sangat besar di kedua belah pihak. 900 warga sipil El Salvador kehilangan nyawa, sementara 300.000 lainnya mengungsi. Honduras kehilangan lebih dari 2.000 warga sipil dan sekitar 250 tentaranya, sementara ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Ekonomi kedua negara sangat menderita, karena perdagangan terganggu dan perbatasan kedua negara ditutup. Tergantung pada sumber-sumber yang ada, antara 60.000 hingga 130.000 orang El Salvador harus diusir secara paksa atau melarikan diri dari Honduras, yang mengakibatkan gangguan ekonomi besar-besaran di kedua negara. Kedatangan imigran El Salvador kembali ke negara asal mereka, yang sudah kelebihan penduduk menyebabkan ketidakstabilan ekonomi di El Salvador. Tidak dapat menangani masuknya warganya sendiri, El Salvador menjadi semakin miskin dan kemudian mengalami perang saudara selama 12 tahun. Kedua angkatan udara tetap berada dalam kondisi siaga tinggi setelah permusuhan berakhir. Sementara itu, FAS, yang diperkuat dengan kekuatan sekitar sebelas Mustang dari berbagai tipe (rata-rata sepuluh di antaranya beroperasi), dirotasi antara dua dan enam pesawat tempur ke lapangan terbang di San Miguel dan Santa Ana, setiap minggu hingga bulan Oktober 1969. Dua Corsair yang masih beroperasi tetap bermarkas di Ilopango, dan menerbangkan misi CAP secara teratur di atas ibu kota. Lapangan terbang Madre Sal tidak digunakan sebanyak sebelumnya, terutama karena masalah dalam memasok bahan bakar dan suku cadang. Berakhirnya perang menandai dimulainya perlombaan senjata antara kedua negara. Pada awalnya, FAS berusaha untuk menambah jumlah Mustang yang tersedia, tetapi pemerintah AS menggagalkan semua upaya tersebut. Oleh karena itu, pencarian pesawat pembom tempur baru terus berlanjut selama beberapa tahun, namun hasilnya berbeda.

Sementara itu, pada Oktober 1969, FAS membeli dua Douglas B-26B Invader dari AS. Kedua pesawat ini diberi nomor seri 600 dan 601, dan dicat dengan versi kamuflase SEA USAF. Karena FAS kekurangan pilot yang memenuhi syarat, dua perwira mengikuti kursus konversi. Empat Invader tambahan – tiga di AS dan satu di Guatemala – diakuisisi pada tahun 1970. Sebagian besar B-26 berada dalam kondisi yang buruk dan membutuhkan upaya besar dari para teknisi FAS untuk bisa dibawa ke dalam kondisi “layak terbang”. Pada kenyataannya, B-26C bekas Guatemala tampaknya tidak pernah diperbaiki, melainkan digunakan sebagai sumber suku cadang, sementara tempat bom dari semua pesawat tidak pernah beroperasi. Namun demikian, lima Invader memasuki layanan dengan Escuadron de Bombardero yang baru didirikan, meskipun hanya tiga pesawat yang beroperasi secara rata-rata. Armada Invader El Salvador yang kecil hanya bertugas sebentar: pada tahun 1972, keputusan diambil untuk menjualnya kembali ke Amerika Serikat dan sebagai gantinya dibeli pesawat tempur baru – kali ini tipe jet. Honduras mengikutinya, menjadi angkatan udara Amerika Latin terakhir yang memperoleh B-26. Satu Invader – “Bacardi Bomber” yang disegani (awalnya dibangun sebagai pesawat bernomor seri 44-35918) – diperoleh dalam keadaan suram dari Kosta Rika. Di bawah kesulitan teknis yang besar, pesawat – awalnya dibangun sebagai B-26B, tetapi sementara itu dibangun kembali menjadi sub-varian B-26C, dan serial FAH-510 – mulai beroperasi pada akhir 1970. Sudah pada 16 Maret 1971, pesawat itu dibuat mendarat darurat di lapangan terbang San Pedro Sula, dan dihapuskan dari dinas operasional. Setelah rekonstruksi secara ekstensif, pesawat itu dikembalikan ke layanan operasional, untuk pensiun hanya pada awal tahun 1980, ketika dijual kembali ke AS.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

El Salvador vs Honduras, 1969: The 100-Hour War By Tom Cooper with March Coelich; Sep 1, 2003, 11:48

https://web.archive.org/web/20060615193519/http://www.acig.org/artman/publish/article_156.shtml

Honduras v El Salvador: The football match that kicked off a war By Toby Luckhurst; BBC News; 27 June 2019

https://www.bbc.com/news/world-latin-america-48673853.amp

The Real Football War! When El Salvador Invaded Honduras Over a Soccer Game by Shahan Russell

https://www.warhistoryonline.com/history/the-real-football-war.html/amp?prebid_ab=enabled

Latin America: The Football War By Kennedy Hickman; Updated on October 03, 2019

https://www.thoughtco.com/latin-america-the-football-war-2360853

The Last Piston-Engine Dogfights by Preston Lerner; September 2015

https://www.smithsonianmag.com/air-space-magazine/last-piston-engine-dogfights-180956250/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Football_War

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.